Sabtu, 14 Mei 2011

Si Kakek Penjual Bacang

Gelap. Lalu cahaya masuk dari sela-sela mataku. Udara dingin terasa disekitar leherku. Kutarik kembali selimut tebal dan kubenamkan wajahku ke bantal. Alarm berteriak kencang sekali, mencoba membangunkanku dari mimpi yang masih tersisa. Dengan malas aku menekan tombol stop, membalikkan badanku kesisi lainnya dan memeluk gulingku. 
"Ooaahhmmmm......... " Dengan berat  aku bangun dan duduk. Mengusap muka dan menggosok-gosok mata. Sayup-sayup aku mendengar suara. Suara nyaring. Dari kejauhan. 
"Caaaang...."
"Caaaaaaang..."
Suara bapak-bapak, eh bukan.. lebih tepatnya suara kakek-kakek. Semakin lama semakin dekat dan jelas.
"Bacaaaaang.... Bacaaaaang... Neeng bacaaang neeeng.. Bacang haneeut neeng..."
Terus berulang-ulang. semakin dekat.
Penasaran. Aku lalu berdiri dengan malas dan terpisah dari selimutku.
Kamar kosanku terletak dilantai dua. Dari atas aku melihat kakek penjual bacang. Kakek yang bersemangat. Tanpa Jaket ataupun sweater. Tanpa sepatu hanya sandal jepit usang. Tanpa ada seorang pun yang memperhatikannya, seolah semua terhipnotis oleh waktu. Seyumannya yang ia tebar tiada berbalas. Lelah sepertinya. Tersadar dengan adanya aku, si kakek mendongak dan tersenyum dengan mulut yang kosong tanpa gigi yang utuh.
"Neng geulis, Bacang haneut..". Ramah dan baik, itu gambaran yang aku dapatkan.
Aku lalu mengangguk. " Tunggu ya pak" ujarku.
Aku membeli 2 bacang isi daging. Rp. 3000 harganya. 
Dengan senang hati si kakek penjual bacang pergi.
Dibelakang punggungnya aku melihat dorongan dan tuntutan hidup.
Dipundaknya aku melihat beban kehidupan yang menekannya.
Dikakinya aku melihat rantai kehidupan yang terus bertambah berat dan berat untuk melangkah.
Melihat tubuhnya yang termakan usia, kurus dan kering tergerus waktu dan berbagai macam kekurangan.
Tapi membayangkan wajahnya yang tersenyum mengangkat kulitnya yang keriput dengan gigi ompongnya melukiskan ketegaran dan semangat untuk tetap hidup, tetap mencari nafkah untuk keluarganya. tak mau menyandarkan hidup pada anak-anaknya. Tidak mau merendahkan diri dengan mengemis. Dan selalu bersabar dengan "kebijakan-kebijakan" pemerintah yang memang tidak diperuntukkan untuk mereka.
Tapi kakek penjual bacang tetap berjalan mendorong gerobak kecilnya yang berisi bacang. Yang ada dalam benaknya adalah bagaimana dia mejual bacang-bacang ini sampai habis terjual, agar anak istri mungkin juga cucunya bisa tetap makan dan dia bisa kembali berjualan bacang keesokan harinya - bila Tuhan belum memanggilnya.

0 komentar:

Posting Komentar