Jumat, 06 Juli 2018

Dua Satu Hari

Mataram, 6 Juli 2018. (6.00 AM) Waktu Indonesia Tengah.

Sebungkus nasi kuning dengan sambal khas Lombok yang terasa pedas tapi nikmat tiada dua membuka pagi yang masih gelap gulita akibat mendung pagi tadi. Setelah menghabiskan suapan terakhir dan minum air mineral merk lokal, kegiatan duduk-duduk diruang tamu menjadi ritual selanjutnya. Toples-toples kudapan yang terdiri dari nastar, permen mint, kacang telur, dan aneka kue khas lebaran lainnya yang tersisa menjadi hidangan penutup. Pagi yang nyaman untuk memulai malas-malasan. 

Hari ke dua puluh satu sejak aku resmi berstatus penggangguran akibat keputusan pengunduran diri yang sudah lama aku inginkan. Pulang dan kembali ke rumah orangtua yang awalnya aku bayangkan akan baik-baik saja ternyata terasa kian hari kian berat. Terpikir untuk mengambil kamar kontrakan sendiri atau membeli rumah dan tinggal terpisah dengan keluarga mulai menggerayang didalam pikiran, tapi akal sehat menghentikannya dengan alasan keadaan finansial yang tak lagi memungkinkan untuk berdiri sendiri. Kesimpulannya aku lemah tanpa uang.

Setelah kemungkinan untuk hidup terpisah di dalam kota yang sama luntur, ide muncul lagi untuk kembali ke perantauan. Ingin meneguk kembali rasanya 'kebebasan' yang dulu terasa sesak dan sendiri, tapi kepedihan dan kesendirian itu yang aku rindukan sekarang. Yang aku rindukan adalah kamarku, semua fasilitas yang aku hasilkan sendiri, dunia kecilku yang sepi dan padat. Semuanya seperti menghukumku, mengolok-olok keputusanku. 

Dua puluh hari atau tepatnya kemarin, saat aku masih merasa rumah adalah hal yang terbaik. Dihari ke dua puluh satu hari aku menyadari 'kekosongan' yang menggelembung semakin besar yang berbanding lurus dengan kebosanan yang mulai melanda. Sekarang aku sadari batas paling lama aku tidak bekerja adalah dua puluh hari. Butuh du apuluh hari libur dan beristirahat untuk mengumpulkan kembali semangat kerja dan mengusir semua kepenatan akibat terus-menerus beraktivitas di kantor. Hasil experimen ini membuat aku paham alasan orang-orang Barat menggunakan hari cutinya sekaligus untuk berlibur dalam jangka waktu yang lama. Terurainya rasa jengah dan penat adalah dua puluh hari, khususnya untukku.

Dan sekarang satu diri dalam diriku bertanya apakah aku menyesal telah memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku, aku tegas menjawab tidak. Pengunduran diri bukan semata-mata bisa dibayarkan oleh gaji semata. Untuk perkara gaji, aku serahkan kepada yang maha kaya, sudah kuserahkan apapun yang terjadi pada diriku pada-Nya. Aku hanya sedang rindu kebebasan dan waktu sendiriku, rindu udara dingin yang menggigit saat aku membuka jendela kost dan driver ojek online yang selalu berganti menyapaku disetiap pagi. Aku rindu canda dan suasana ruangan besar dilantai dua gedung kantorku, juga suara mesin absen ketika menunjuk jam 8 pagi. Aku rindu teman-temanku dengan segala gosip dan kebiasaan mereka memberiku lelucon garing dipagi hari. Aku rindu mall-mall yang tak pernah tidur dan jalanan padat merayap yang dulu aku benci. Aku rindu pada kompor, penggorengan dan bahan-bahan masakanku. Memasak adalah hobby baruku ketika sudah bosan menulis. Dengan bermodal resep online dan kemauan keras, lambat laun aku suka memasak. Aku rindu makan masakanku sendiri.

Butuh sepuluh tahun untuk mencintai kesendirian dan kemerdekaanku dan dua puluh satu hari merupakan waktu yang tak pantas untuk menghapus kenangan yang menghabiskan sebagian besar cerita hidupku. Aku hanya rindu perantauan. Mungkin rasa pedihnya akan mengiris-ngiris dihari-hari kedepan, terutama saat hari-hariku bertambah sulit. Tak ada yang bisa dipersiapkan untuk mengatasi hal-hal seperti ini, sama halnya tidak ada yang siap akan perpisahan, patah hati dan ditinggalkan. Sekuat apapun akan terasa sakit. Tapi kesakitan itu akan memunculkan kekuatan lain didalam hati agar ikhlas dan tegar.

Hari ke dua puluh satu yang kosong. Aku penasaran apa yang akan terjadi di hari ke dua puluh dua. Rencana dan impian-impian yang aku simpan, perlahan-lahan bermunculan, menagih janji untuk diwujudkan. Sabar ya, aku sedang menyusun kalian, satu per satu.



0 komentar:

Posting Komentar